For English version see below
Rasa dan Spiritualitas Kritis
Dua konsep utama yang belakangan ini didalami Ayu Utami adalah “spiritualisme kritis” dan “rasa”.
Mengapa memikirkan spiritualisme kritis?
“Spiritualisme kritis” mulai saya pikirkan ketika kekerasan atas nama agama meningkat di Indonesia di awal 2000-an, justru di masa demokrasi. Muncul kasus-kasus persekusi terhadap komunitas Ahmadiyah, Syiah, Kristen, juga LGBT. Pawai Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika diserang Front Pembela Islam. Jaringan Islam Liberal, yang didirikan di Komunitas Utan Kayu, mendapatkan perlawanan keras, sampai ada penyerbuan dan kiriman bom buku. Ini mengagetkan. Indonesia yang dulu dikenal sebagai bangsa yang terbuka, dengan sejarah panjang sinkretisme dan bahkan cairnya identitas jender, tiba-tiba menjadi dogmatis dan intoleran. Apa yang terjadi? Ini kegelisahan di belakang novel saya Bilangan Fu.
Tentu ada penjelasan sosial-politik-ekonomi dan konteks global. Tapi, sebagai orang yang bergerak dalam kebudayaan dan pemikiran, saya fokus pada perubahan nilai dan pola pikir. Bukankah manusia membenarkan kepentingan sosial-politik-ekonominya melalui pikiran dan nilai-nilai? Kita perlu juga meneliti pikiran dan nilai-nilai itu.
Di sini, saya melihat adanya pergeseran dari model berpikir dengan “rasa”, yang tradisional dan pra-kritis, menjadi model berpikir dengan “rasio”, yang modern, meski belum tentu kritis. “Rasa” dan “rasio” di sini harus didefinisikan secara khusus. Rasa bukanlah emosi, melainkan suatu model berkesadaran yang cara kerjanya menekankan hubungan ketimbang pemisahan, inklusi ketimbang eksklusi. Jika kita menggunakan rasa, kita lebih berpikir asosiatif, bukan definitif. Sebaliknya, rasio adalah model berkesadaran yang cara kerjanya mendahulukan kejelasan batas-batas. Baik rasa dan rasio adalah netral, masing-masing bisa baik dan buruk. Hal baik dari model rasa adalah tidak melakukan jalan kekerasan dalam mengelola perbedaan. Hal buruknya, misalnya, menghasilkan inkonsistensi logis atau irasionalitas, seperti dalam banyak kasus takhayul dan sinkretisme. Hal baik dari model rasio adalah ketajaman penalaran. Hal buruknya adalah dogmatisme.
Indonesia bergerak menjadi modern dalam suasana ideologis dan di bawah pemerintah otoriter. Pendidikan tradisional yang berdasarkan rasa perlahan diganti dengan pendidikan modern yang menekankan dogma dan doktrin. Dalam suasana sosial-politik-ekonomi lokal dan situasi global di awal abad ke-21, pola pikir dogmatis pun dianggap lebih benar. Argumen dogmatis lebih laku, baik dalam kalangan agamis maupun yang anti-agama. Jadi, sayangnya, model rasio yang dominan bukanlah yang kritis melainkan dogmatis.
Nah, spiritualisme kritis sebenarnya adalah harapan, bahwa sekarang dan ke depan kita bisa mengembangkan dasar untuk bhinneka tunggal ika yang lebih kuat, berakar dalam tradisi, sekaligus modern. Spiritualisme kritis mau mengambil yang baik dari model rasa maupun rasio. Rasa yang bagus akan mengantar kita pada keterbukaan tanpa batas, yakni spiritualitas. Rasio yang bagus akan mengantar kita pada kemampuan refleksi kritis. Keduanya harus saling memeriksa.
Dari usaha merumuskan “spiritualisme kritis”, Anda menemukan “rasa”?
Kira-kira begitu. Kata “rasa” adalah konsep penting dalam kesadaran pra-Indonesia maupun Indonesia. Teks tertua yang menggunakan kata ini adalah sebuah prasasti dari abad ke-8. Saya sedang melakukan penelusuran tentang penggunaan kata “rasa” dari masa kuno hingga sekarang, dan sementara ini menemukan bahwa ini adalah konsep tentang model kesadaran yang sangat dijunjung tinggi. Kata “rasa” yang digunakan di Indonesia tidak sama, dan karenanya tidak perlu diukurkan, dengan konsep rasa dalam teks klasik Natyasastra dari India yang umumnya jadi rujukan. Indonesia mengembangkan konsepnya sendiri, yang memperlihatkan pengaruh filosofi Hindu, Buddhisme, dan mistik Islam.
Anda membayangkan ada struktur “rasa”?
Ya. Orang Indonesia tidak mendikotomikan rasa dan nalar. Dari teks kuno sampai tuturan lisan modern, “rasa” menggambarkan lapisan-lapisan kesadaran, dari yang permukaan sampai yang terdalam (atau tertinggi). Penalaran adalah bagian dalam lapisan-lapisan itu. Dekat dengan mistik Islam maupun mazhab tertentu Hindu-Buddha, yang terdalam (tertinggi) adalah kesadaran nondualitas.
Saya menggambarkan struktur rasa sebagai persilangan yang menyerupai bagan “kiblat papat lima pancer” dalam tradisi Jawa Bali. Konsep paling dasarnya adalah seperti “rwabineda” di Bali, yaitu penyatuan pertentangan. Hal dasar bertentangan yang dipersatukan adalah antara ada (eksistensi) dan nilai, yang diskemakan sebagai garis vertikal dan horisontal. Ini menghasilkan empat “mata angin”, yang dalam tradisi Jawa dihubungkan dengan warna hitam (utara), merah (selatan), putih (timur), kuning (barat), dan pancawarna di porosnya. Ini adalah semacam kompas batin bagi orang kuno. Mereka mengorientasikan jagad besar dan jagad kecil dengan kompas ini. Masing-masing warna dan mata angin itu juga mereka kaitkan dengan empat jenis nafsu, hari-hari pasaran, pekerjaan, dll.
Skema primitif ini menurut saya bisa dibaca secara modern. Di sini, pertentangan yang dipersatukan adalah antara eksistensi (di posisi merah) dan noneksistensi (hitam) serta kebenaran atau universalitas (putih) dan keindahan atau partikularitas (kuning). Penyatuan pertentangan yang sejati adalah jika semua saling menguji satu sama lain. Ini bisa digunakan untuk mengorientasikan psikologi, politik, maupun estetika kita. Saya mencoba memakai struktur rasa ini untuk kritik sastra yang saya lakukan dalam hadiah sastra Rasa.
Bagaimana penerapan “teori rasa” ini dalam kritik sastra?
Itu yang saya coba lakukan. Saya melihat suatu karya memiliki dorongan-dorongan dasar yang saling bertentangan dan harus dipersatukan. Misalnya, suatu karya sastra punya tegangan antara menggunakan bentuk yang ada sekaligus melakukan pembaruan (melawan bentuk yang ada); antara mencari kebenaran dan keindahan. Keseimbangan yang bagus di antara pertentangan itu adalah jika masing-masing saling menguji. Inilah yang saya tuliskan dalam surat-surat pribadi kritik sastra saya pada para pemenang.
Rasa and critical spirituality
Ayu Utami has extensively explored two key concepts: “critical spirituality” and “rasa.”
Why consider critical spirituality?
I began to think about critical spirituality when religious violence in Indonesia surged in the early 2000s, ironically during a democratic era. There were persecution of the Ahmadiyah, Shia, Christians, and LGBT. The Unity and Diversity parade was attacked by the Islamic Defenders Front. The Liberal Islam Network, founded by the Komunitas Utan Kayu, faced strong opposition, including raids and a book bomb. This was shocking. Indonesia, once known as an open society with a long history of syncretism and fluid gender identities, suddenly became dogmatic and intolerant. What happened? This was the underlying question behind my novel, Bilangan Fu.
Certainly, there are socio-political-economic explanations and a global context. However, as I am working with arts and ideas, I focus on changes in values and ways of thinking. People justify their socio-political-economic interests through their thoughts and values, right? We need to examine these thoughts and values as well.
Here, I see a shift from a way of thinking based on ‘rasa’, which is traditional and pre-critical, to a way of thinking based on ‘reason’ which is modern, though not necessarily critical. Rasa and reason must be defined specifically here. Rasa is not emotion, but rather a model of consciousness that emphasizes relationships over separation, inclusion over exclution. When we use rasa, we think more associatively, not definitively. On the other hand, reason is a model of consciousness that prioritizes clear boundaries. Both rasa and reason are neutral, each can be good or bad. The good thing about the rasa model is that it does not resort to violence in managing differences. The downside, for example, is that it can produce logical inconsistencies or irrationality, as in many cases of superstition and syncretism. The good thing about the reason model is the sharpness of reasoning. The downside is dogmatism.
Indonesia moved towards modernity in an ideological atmosphere and under authoritarian governments. Traditional education based on rasa was gradually replaced by modern education that emphasized dogma and doctrine. In the local socio-political-economic situation and the global situation at the beginning of the 21st century, dogmatic thinking was considered more correct. People, be the religious and the anti-religious, buy the dogmatic arguments. So, unfortunately, the dominant reason model was not critical but dogmatic.
Now, critical spirituality is actually a hope, that now and in the future we can develop a stronger foundation for Bhinneka Tunggal Ika (Unity in Diversity), rooted in tradition and yet modern. Critical spirituality wants to take the good from both the rasa and reason models. Good rasa will lead us to boundless openness, that is, spirituality. Good reason will lead us to the ability of critical reflection. Both must check each other.
Did you discover the concept of ‘rasa’ while formulating ‘critical spirituality’?
More or less. ‘Rasa’ is a significant concept in both pre-Indonesian and Indonesian thought. Its earliest recorded use is in an 8th-century inscription. My research on the concept of rasa from ancient times to the present has revealed it to be a highly valued model of consciousness. The Indonesian ‘rasa’ differs significantly from the concept found in classic Indian text Natyasastra, which is often used as a reference point. Indonesia has developed its own unique concept, influenced by Hindu, Buddhist, and Islamic mystical philosophies.
Do you see ‘rasa’ as having a structure?
Yes. Indonesians do not dichotomize rasa and reason. From ancient texts to modern speech, ‘rasa’ describes layers of consciousness, from the superficial to the deepest (or highest). Reasoning is a part of these layers. Close to Islamic mysticism and certain Hindu-Buddhist schools, the deepest (highest) is the non-duality consciousness.
I visualize the structure of rasa as a cross resembling the ‘kiblat papat lima pancer’ diagram in Javanese-Balinese tradition. The most basic concept is similar to ‘rwabineda’ in Bali, which is the unification of opposites. The fundamental opposites that are united are existence and value, schematized as vertical and horizontal lines. This produces four ‘cardinal directions’, which in Javanese tradition are associated with the colors black (north), red (south), white (east), yellow (west), and the mixed-colored center. This is a kind of inner compass for ancient people. They oriented the macrocosm and microcosm with this compass. They also associated each color and cardinal direction with four types of desires, market days, occupations, etc.
I believe this primitive scheme can be read in a modern way. Here, the opposites that are united are existence (in the red position) and non-existence (black) as well as truth or universality (white) and beauty or particularity (yellow). The true unification of opposites is when all mutually test each other. This can be used to orient our psychology, politics, and aesthetics. I try to use this structure of rasa for literary criticism in my Rasa literary award.
How do you apply this ‘theory of rasa’ in literary criticism?
I see that a work of literature has fundamental and opposing drives that must be unified. For example, a literary work has a tension between using existing forms and innovating (opposing existing forms); between seeking truth and beauty. A good balance between these opposites is achieved when each tests the other. That’s what I try to convey in my personal letters to the winners of the Rasa literary award.